Suster Ngesot di Lorong Rumah Sakit Kolonial, Kisah Nyata Menegangkan

Suster Ngesot di Lorong Rumah Sakit Bekas Kolonial: Ternyata Bukan Sekadar Legenda

Malam yang Tak Pernah Dingin Lagi

Aku tidak pernah menyangka malam itu akan mengubah pandanganku tentang dunia gaib. Semua berawal ketika aku menerima tugas lembur di rumah sakit tua di pinggiran Bandung — rumah sakit peninggalan Belanda yang konon menyimpan banyak rahasia kelam.
Bangunan itu berdiri megah tapi usang. Dindingnya tebal, catnya mengelupas, dan aroma obat bercampur karbol tercium tajam setiap kali aku menarik napas.
Sejak awal, suasananya memang tidak bersahabat. Namun, karena aku baru seminggu bekerja sebagai petugas administrasi malam, aku mencoba menepis perasaan aneh yang datang berulang-ulang.

Malam itu, hujan turun deras. Petir menyambar di kejauhan, dan hanya suara jam dinding tua yang menemani. Tapi di antara suara hujan, aku mendengar sesuatu yang tak seharusnya terdengar. Suara gesekan halus, seperti seseorang yang sedang menyeret tubuhnya di lantai.


Awal Mula: Kisah Tentang Suster Ngesot Kolonial

Sebelum malam itu, para perawat senior sering memperingatkanku agar tidak berjalan sendirian melewati Lorong Timur setelah tengah malam.
Katanya, di sanalah dulu terjadi tragedi mengenaskan pada masa penjajahan Belanda. Seorang suster muda bernama Anna van der Veen tewas secara tragis setelah disiksa oleh tentara kolonial karena menolak diperintah melakukan hal yang tak manusiawi.

Tubuhnya dipatahkan, kakinya hancur, dan jiwanya tak pernah pergi dari lorong tempat ia menghembuskan napas terakhir. Sejak itu, warga sekitar menyebutnya “Suster Ngesot Kolonial.”
Kisahnya dianggap legenda. Banyak yang menertawakan cerita itu, tapi malam itu aku tahu, sesuatu yang dulu kuanggap omong kosong ternyata benar-benar ada.


Suara Gesekan Itu Semakin Jelas

Sekitar pukul 00.45, aku memutuskan pergi ke ruang arsip untuk mengambil beberapa dokumen. Jalannya harus melewati Lorong Timur yang gelap dan lembap. Lampunya sering mati meski sudah diganti berkali-kali.
Langkahku terasa berat. Aku berusaha menenangkan diri sambil berkata dalam hati, “Tidak ada apa-apa, cuma imajinasi.”

Tapi suara itu muncul lagi.
Srkk… srkk… srkk…
Sebuah suara menyeret terdengar dari ujung lorong. Aku menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Namun hawa dingin tiba-tiba menusuk hingga ke tulang.

Saat itulah aku melihatnya — sosok perempuan berseragam suster putih dengan darah kering di ujung roknya. Rambutnya menutupi wajah, dan tubuhnya setengah menyeret di lantai. Tangannya menggenggam sesuatu — mungkin perban, atau potongan tulang, aku tidak yakin.

Aku terpaku. Suaraku tercekat. Aku hanya bisa mundur pelan sambil memegang dada yang berdegup kencang.


Saat Bayangan Itu Menyebut Namaku

Yang membuatku benar-benar kehilangan kendali bukan sosoknya, tapi ketika ia menyebut namaku.
Dengan suara serak dan berat, dari balik rambutnya, terdengar lirih,

“Rina… bantu aku….”

Darahku seolah berhenti mengalir. Tidak mungkin. Aku belum pernah menceritakan namaku di tempat itu selain kepada staf lain. Bagaimana ia tahu?
Aku ingin berlari, tapi tubuhku terasa membeku. Pandanganku kabur sejenak sebelum semuanya gelap.


Keesokan Paginya: Semua Orang Diam

Aku terbangun di ruang perawat dengan selimut menutupi tubuhku. Kepala masih pusing, dan tubuh terasa dingin.
Seorang perawat senior menatapku serius. Ia berkata, “Kamu melewati Lorong Timur, ya?”
Aku mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang lalu bercerita bahwa bukan hanya aku yang mengalaminya.

Beberapa tahun lalu, seorang dokter muda juga ditemukan pingsan di tempat yang sama. Ia mengaku melihat sosok perempuan tanpa kaki yang merangkak menuju arah pintu ICU.
Sejak itu, lorong tersebut ditutup setiap malam pukul 23.00. Tapi entah kenapa malam itu pintunya terbuka, padahal seharusnya terkunci otomatis.


Menyelidiki Jejak Masa Lalu

Rasa penasaranku mengalahkan rasa takut. Setelah beberapa hari, aku mulai mencari arsip lama rumah sakit.
Dari catatan tahun 1947, aku menemukan nama Anna van der Veen, benar-benar terdaftar sebagai perawat kolonial. Ia tewas pada 17 Maret 1947 akibat penyiksaan di ruang medis bawah tanah.

Yang lebih menyeramkan, catatan autopsinya menyebutkan kedua kakinya remuk akibat pukulan keras. Tidak ada pemakaman resmi. Ia dimakamkan secara diam-diam di halaman belakang rumah sakit.
Aku mulai mengerti. Arwah suster itu mungkin belum tenang karena jasadnya tidak pernah diperlakukan dengan hormat.


Ritual Malam Jumat Kliwon

Perawat senior bercerita bahwa setiap malam Jumat Kliwon, sering terdengar langkah menyeret di lorong itu.
Beberapa petugas keamanan bahkan melihat lampu menyala sendiri di kamar kosong nomor 7. Ruangan itu dulunya adalah tempat Anna dirawat sebelum meninggal.

Aku memutuskan untuk ikut berjaga malam pada Jumat Kliwon berikutnya. Aku membawa kamera ponsel, senter kecil, dan doa yang kuhafal dari nenekku.
Tepat pukul 00.30, suara itu datang lagi. Kali ini lebih cepat dan lebih jelas.
Srkk… srkk… srkk…

Lampu lorong berkedip. Udara berubah dingin. Dari ujung koridor, bayangan putih muncul perlahan, semakin dekat, hingga aku bisa melihat wajahnya. Separuh kulitnya pucat, matanya kosong tapi memandang tajam.

Aku mencoba bicara. “Anna… kamu ingin apa?”
Ia berhenti. Tangannya menunjuk ke arah halaman belakang.
Seketika, aku mengerti.


Penemuan Kuburan Tak Bertanda

Esok paginya, aku melapor kepada kepala rumah sakit. Awalnya ia tidak percaya, tapi setelah aku menunjukkan catatan lama dan video dari ponselku, ia akhirnya mengizinkan tim penggali datang ke halaman belakang.

Benar saja, di bawah pohon besar di belakang gedung, ditemukan tulang belulang manusia lengkap dengan sisa kain putih tua. Setelah diperiksa, tulang itu dipastikan berasal dari wanita muda berusia sekitar 25 tahun.

Pihak rumah sakit akhirnya memutuskan untuk memakamkannya secara layak di pemakaman umum.
Sejak saat itu, suara langkah menyeret di lorong hilang. Tidak ada lagi gangguan di kamar nomor 7. Tapi setiap kali aku melewati tempat itu, aku masih bisa mencium aroma samar alkohol dan bunga melati.


Refleksi: Antara Nyata dan Tak Terlihat

Pengalaman itu mengajarkanku satu hal: tidak semua legenda adalah dongeng.
Kadang, arwah yang kita dengar dalam cerita sebenarnya hanya mencari keadilan yang tidak pernah datang.
Suster Ngesot Kolonial bukan sekadar kisah menakutkan. Ia adalah potret luka sejarah — bagian dari masa lalu yang tidak ingin dilupakan.

Sejak kejadian itu, aku tak lagi bekerja di rumah sakit itu. Tapi setiap kali hujan turun di malam Jumat, aku teringat kembali suara itu.
Srkk… srkk… srkk…
Dan entah kenapa, aku merasa, dia belum benar-benar pergi.


Fakta Tambahan: Asal-Usul Mitos Suster Ngesot di Indonesia

Untuk melengkapi cerita ini, banyak peneliti budaya mistis percaya bahwa sosok “suster ngesot” muncul sebagai simbol penderitaan dan ketidakadilan terhadap perempuan di masa lalu.
Beberapa versi menyebutkan ia korban pelecehan tentara Jepang, ada pula yang mengaitkannya dengan rumah sakit kolonial Belanda seperti tempatku bekerja.

Di berbagai daerah Indonesia, penampakan suster ngesot sering muncul di rumah sakit tua, asrama perawat, bahkan gedung kosong yang dulu digunakan sebagai tempat medis.
Ciri khasnya sama: berjalan menyeret, berseragam putih, dan muncul menjelang tengah malam.
Fenomena ini membuat banyak rumah sakit lama kini dijadikan lokasi wisata horor atau konten dokumenter urban legend.


Kesimpulan: Legenda yang Hidup

Kini aku percaya, setiap tempat punya penjaganya sendiri.
Rumah sakit kolonial itu mungkin sudah direstorasi dan menjadi bangunan modern, tapi kisah Suster Ngesot Kolonial tetap hidup di antara tembok tua dan lorong gelapnya.
Bagi sebagian orang, ini hanya legenda. Tapi bagiku — dan bagi mereka yang pernah mendengar langkah menyeret itu — legenda itu nyata.

Lebih dari penulis ini

The Smashing Machine tayang hari ini

Film The Smashing Machine Tayang Hari Ini di Bioskop Indonesia

Sara Wijayanto pabrik gula

Sara Wijayanto dan Penelusuran Mistis di Pabrik Gula